Buruh, Tanggung Jawab Siapa???

Kesejahteraan Buruh, Tanggung Jawab Siapa???
Anda mungkin akan sependapat dengan saya bahwa bekerja sebagai karyawan atau buruh tidak bisa membuat kita kaya raya. Gaji yang anda terima tidak akan berselisih jauh dengan yang namanya UMR, UMK, atau UMD. Bahkan, bila anda berstatus pegawai kontrak, kecemasan yang anda rasakan bukan hanya khawatir kebutuhan tidak tercukupi karena gaji yang minim, tapi anda juga akan selalu dibayang-bayangi ketakutan akan di PHK secara tiba-tiba. Sebagai karyawan kontrak anda juga tidak menerima tunjangan kesehatan atau fasilitas lain yang bisa dinikmati karyawan tetap, tidak ada THR, juga mungkin ada larangan menikah/hamil, sampai adanya syarat-syarat baru saat anda akan memperpanjang kontrak.

Sistem kerja kontrak (PKWT-Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan outsourcing (pemberian pekerjaan ke pihak lain/perusahaan-sub kontrak) sudah semakin marak, bahkan sudah mendominasi sistem kerja dalam industri/perusahaan saat ini. Hal ini tentu saja meresahkan kaum buruh. Sudah susah cari kerja, masuk kerja harus dengan menyogok, setelah diterima kerja hanya menjadi karyawan kontrak, gajinya rendah pula!

Penetapan UMR pun yang diklaim pemerintah mampu meredakan permasalan gaji, malah menjadi sebuah kesalahan, jika dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan.

Bagaimanapun faktanya, tetap saja UMR bagi buruh terbukti belum mensejahterakan buruh .Karena nilai UMR, UMD, dan UMK ini biasanya dihitung merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan. Sehingga dengan UMR kita hanya mendapat kesejahteraan yang minimum.

Ketika kita berbicara tentang kesejahteraan kita sebagai buruh, kita sebenarnya tidak hanya sedang menghadapi permasalahan intern perusahaan terkait dengan segala kebijakannya. Pada dasarnya, perusahaan bergerak untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan meminimalkan pengeluaran-pengeluaran. Perusahaan tidak selalu akan dapat memberikan gaji yang besar untuk karyawannya, karena masalah ini terkait dengan kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan juga tidak selalu bisa untuk menerima setiap pegawainya sebagai karyawan tetap, karena masalah ini juga masih terkait dengan keuangan perusahaan. Tapi kalau saja pemerintah menetapkan peraturan/UU tegas yang mangatur pemberian gaji yang baik untuk karyawan, dan menghapus sistem kerja kontrak dan outsourching, tentu saja, mau tak mau pihak perusahaan harus menaatinya. Karena perusahaan yang ‘nakal’ akan mendapat sanksi sesuai UU yang berlaku.

Tapi, bila disatu sisi pemerintah hanya mendesak perusahaan untuk memenuhi kesejahteraan pegawainya tanpa memperhatikan kondisi keuangan perusahaan itu, tentu saja perusahaan berpotensi merugi. Seharusnya, pemerintah menjadi regulator yang baik untuk menciptakan perekonomian yang stabil, seperti menjamin ketersediaan dan keterjangkauan BBM, tidak menetapkan pajak yang terlalu tinggi, mencegah adanya perdagangan bebas, dan hal-hal lain yang membantu meningkatkan penghasilan perusahaan. Sehingga akan menguntungkan perusahaan dan juga menguntungkan kaum buruh.

Saya pribadi mengembalikan semua permasalahan yang menjerat kaum buruh pada masalah sistem yang mengungkung negeri ini. ketidaksejahteraan yang tumbuh ditengah kita bukan semata-semata karena kita buruh. Bukan semata-mata karena gaji kita rendah. Karena pemenuhan kebutuhan kita bukan hanya terkait dengan berapa rupiah yang kita punya untuk membiayai hidup. Tapi berapa rupiah yang harus kita bayar untuk membiayai hidup. Jika biaya hidup mahal, harga kebutuhan pokok mahal, BBM mahal, listrik mahal, kesehatan mahal, pendidikan mahal, tentu saja penghasilan yang kita punya akan selalu terasa kurang.

Dan harus kita akui, tingkat penghasilan kita juga terkait dengan latar belakang pendidikan kita. Orang dengan tingkat pendidikan rendah akan menerima gaji yang rendah pula. Sedangkan tidak semua rakyat dinegeri ini bisa mengenyam pendidikan tinggi. Wajar bila lebih banyak rakyat negeri ini yang berpenghasilan rendah.Lalu, siapa yang akan kita salahkan kalau bukan pemerintah yang membuat biayai pendidikan dinegeri ini mahal ?!

Problem sistem kerja kontrak juga merupakan buah kebijakan pmerintah yang lebih memihak investor asing. Pemerintah berdalih bahwa sistem kerja kontrak dan taraf gaji buruh yang rendah akan menarik investor asing untuk menanamkan modalnya dinegeri kita. Jika banyak investor datang, maka akan meningkatkan penghasilan negara. Pada faktanya, argumen ini sama sekali tak ada hubungannya dengan perbaikan kesejahteran rakyat. Karena penghasilan negara yang meningkat itu tidak dikembalikan untuk kepentingan rakyat, melainkan habis dijarah para koruptor!

Mungkin akan selalu kita ingat, Soeharto yang selama tiga puluh tahunan menjabat sebagai presiden sukses memperkaya keluarga besarnya. Megawati sebagai pencetus sistem kerja kontrak yang bersuamikan seorang pengusaha. Jusuf Kalla yang mengajukan program konversi bahan bakar minyak tanah ke gas, karena beliau punya perusahaan gas. Atau SBY yang rajin menswastanisasikan BUMN. Semua pemimpin itu membuat kebijakan yang tak jauh-jauh dari unsur kepentingan pribadi mereka. Merekalah beberapa contoh pemimpin yang harus diajari lagi ilmu ‘peduli pada rakyat’.

Begitulah, masih banyak yang harus dibenahi dari sistem negeri ini. Sayang, saat ini waktu kita lebih terkuras untuk menyaksikan adegan –adegan politik kotor, mafia hukum, mafia peradilan, menyimak bualan-bualan para pengusung liberalisme, atau menonton sinetron dan infotainment!

Karena saya tidak mau dianggap hanya omong besar dan pandai menyalahkan orang lain. Saya mengusulkan solusi atas permasalahan diatas adalah dengan ganti sistem dan ganti rezim dalam pemerintahan kita. Karena jelas-jelas hal yang kita bicarakan diatas adalah permasalah cabang yang lahir dari sebuah sistem besar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Problem politik, problem sosial,problem ekonomi, problem hukum, dan problem-problem lainnya terbukti tidak terselesaikan oleh seperangkat aturan yang terdiri dari 37 pasal-199 butir pasal buatan manusia. Lantas, tak maukah kita jika hukum buatan manusia ini diganti oleh hukum buatan Sang Pencipta Alam Semesta, yaitu al-Quran yang sempurna?!

Wallaualam bi ash shawab. 

0 komentar:

Posting Komentar