Islam dan Filsafat Islam




Salah satu pemikiran terpenting Profesor Muhammad Naquib Al Attas adalah bahwa masalah umat Islam saat ini adalah masalah ilmu, tepatnya ketiadaan ilmu dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan umat Islam. Lebih dari itu, masalah lainnya adalah sumber dari masalah-masalah lain yang banyak dan beragam di hadapi kita saat ini.
 Tuhan bukanlah suatu mitos, citra atau pun lambang yang terus berubah sesuai dengan berjalannya masa. Ia adalah Realitas itu sendiri. Iman memiliki kandungan ilmu, dan salah satu perbedaan yang mendasar antara agama yang benar dengan sains dan filsafat sekular adalah dalam hal cara memahami sumber-sumber metode ilmu.
Berdasarkan metode penciptaannya, ilmu memiliki beberapa aspek, atau ia dianggap sebagai semacam genus yang memiliki beberapa spesies. Salah satu spesies itu adalah ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang berurusan dengan objek-objek yang dapat diketahui. Objek tahu adalah segala sesuatu yang dalam arah lahiriah yang ada di sekitar kita. Selain tahu, ada dimensi lain dari ilmu yaitu kenal yang lebih intens dan dalam, dibandingkan tahu. Sesuai dengan itu, ilmu ini dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan, yang dalam khazanah Islam secara khusus disebut sebagai ma’rifah. Ma’rifah diturunkan dari kata ‘arafa yang artinya mengenal. Kata inilah yang digunakan dalam hadist mashyur, “Barangsiapa mengenal (‘arafa) dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Hal ini sekaligus bahwa Tuhan adalah objek pengenalan, bukan pengetahuan dan bahwa pengenalan Tuhan itu melalui pengenalan diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam arti sebenarnya, yang diturunkan dari ‘ilm dalam bahasa Arab adalah istilah general yang memiliki beberapa cabang, diantaranya pengetahuan dan pengenalan di atas.
Ada dua hal yang menjadi implikasi pernyataan ini. Pertama, ini menunjukkan klaim di atas bahwa sains (pengetahuan) karena berhubungan dengan objek-objek yang dapat diketahui, yaitu yang teramati oleh indera, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan penggunaan terjemahan dari ma’rifah, sebagai ilmu pengenalan, tidaklah berlebihan, namun justru menunjukkan posisi yang sebenarnya. Kedua, menggunakan kata ilmu untuk menyebutkan sains, yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya, karena dengan ini objek-objek yang tak dapat bisa diketahui, namun dikenali, seperti Tuhan, dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih jauhnya, pada penggunaan kata ‘ilmiah’, adalah segala pernyataan yang tidak ‘ilmiah’, atau tidak bersumber dari ilmu (sains) dianggap lebih rendah derajatnya,pada gilirannya, ini berarti segala ilmu yang sebagai contoh bersumber dari agama, mengenai masalah-masalah moral, yang tidak dapat ‘dibuktikan’, menjadi tidak cukup bernilai. Penyempitan makna ini baik dilakukan secara sadar atau tidak, mengisyaratkan sedang berlangsung proses sekularisasi, yaitu penghapusan  makna-makna ruhaniah dari segala sesuatu, yang sesungguhnya memang dimulai dari bahasa.
Sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak periode paling awal telah mengukuhkan pandangan bahwa segala sesuatu muncul terwujudnya dari sesuatu lainnya. Alam yang dilihat dari perspektif ini adalah suatu alam semesta yang tak bergantung pada apapun dan kekal (tak diciptakan) ; suatu sistem yang berdiri sendiri. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini. Metode-metodenya terutama adalah :
q  Rasionalisme filosofis, yang cenderung hanya bersandar pada nalar (reason), tanpa bantuan pengalaman atau persepsi inderawi.
q  Rasionalisme sekular, yang sementara menerima nalar, cenderung lebih bersandar pada pengalaman inderawi, menyangkal otoritas, intuisi dan menolak wahyu serta agama sebagai sumber ilmu yang benar.
q  Empirisme filosofis atau empirisme logis, yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa.
Pandangan tentang realitas di atas didasarkan pada penyempitan realitas menjadi terbatas, yang dianggap sebagai satu-satunya tingkat realitas. Dalam sistem ini, ilmu dianggap absah jika ia terkait dengan tatanan peristiwa (fisis) alam serta hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya; dan tujuan penelitian hanyalah menggambarkan dan mensistemasi apa yang terjadi di alam dalam ruang dan waktu. Pandangan ini diungkapkan dalam istilah naturalistik dan rasional yang tegas, yang telah dikosongkan dari makna ruhaniah atau tafsiran simboliknya karena asal usul dan realitasnya semata-mata pada kekuatan-kekuatan alamiah.
Filsafat modern telah menjadi penafsir sains dan menyusun hasil-hasil sains alam dan sosial ke dalam suatu pandangan dunia. Inti asumsi-asumsi para penganjur sains dan filsafat modern adalah sains merupakan satu-satunya ilmu yang otentik, bahwa sains hanya berhubungan dengan fenomena yang berupa kesimpulan-kesimpulan sains dan pernyataan-pernyataan dasar adalah khas bagi zaman tertentu sehingga dapat berubah dalam zaman yang lain.
Kandungan ilmu menurut filsafat moden merupakan kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme, bahwa ketiga aspek kognisi ini bersama-sama merupakan landasan filsafat sains ini. Kognisi bersifat subjektif, orbitrer (menurut gerak hati) dan bergantung pada kesepakatan umum (masyarakat) dan bahwa dalam hubungan antara struktur logika ilmu dengan kandungan empirisnya, keunggulan logika dikukuhkan.
Dalam perjalanan paham konvensionalisme ini bukan tidak akan ditemui suatu hal yang disebut keraguan. Untuk mengatasinya, akhirnya keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistemologis. Kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka akan mencapai kebenaran. Namun hal ini bukan jaminan. Sebenarnya yang mengantarkan kita kepada kebenaran hanyalah hidayah (petunjuk Ilahi), bukan keraguan. Dari keraguan akan muncul fenomena, yaitu kepastian dan dugaan. Saat hati condong pada sesuatu dan menolak hal yang lain, maka ia telah masuk ke tahap kepastian. Bila kepastian ini dibarengi dengan pengenalan positif terhadap kesalahan atau kepalsuan, inilah hidayah. Namun jika hati condong pada sesuatu serta tidak menolak yang lainnya, maka keadaan ini disebut dugaan.
Keraguan, baik itu bersifat pasti atau sementara, yang membawa pada dugaan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Seperti firman Allah : “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran”  (QS : Yunus  36)


Akal dan Intuisi

Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Intuisi dipahami sebagai pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Berkenaan dengan intuisi pada tingkat kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi pada orang yang telah menjalani hidupnya secara ikhlas. Intuisi datang kepada seseorang jika ia telah siap untuk itu; ketika nalar dan pengalaman telah terlatih menerima dan menafsirkannya. Para nabi dan wali juga membutuhkan persiapan untuk menerima dan menafsirkannya; dan persiapan mereka tidak hanya latihan dan pengembangan daya akal dan kapasitas pengalaman inderawi mereka, namun juga latihan disiplin dan pengembangan diri batin dan fakultas-fakultas diri yang berkaitan dengan pemahaman realitas kebenaran. Sebagai contoh pada suatu masalah, makna tercapai lewat intuisi karena intuisilah yang mampu mensintesis hal-hal yang dilihat secara terpisah oleh nalar dan pengalaman tanpa mampu digabungkan ke dalam suatu keseluruhan yang koheren.
  
Otoritas

Otoritas merupakan laporan yang benar sebagai jalan diperolehnya ilmu. Ada dua macam jenisnya, yaitu yang disampaikan secara berangkai dan tak terputus oleh sejumlah orang yang disepakati bersama, dan laporan atau pesan yang dibawa Rasulullah. Otoritas jenis pertama, yang terbentuk oleh kesepakatan bersama dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Namun otoritas jenis kedua, yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, bersifat mutlak.
Terlepas dari otoritas orang yang berilmu pada umumnya, tingkat otoritas tertinggi bagi kita adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, termasuk pribadi suci Rasulullah. Keduanya mewakili otoritas tidak hanya dalam pengertian menyampaikan kebenaran yang dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, serta di atas pemahaman transendetal yang tak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.


Proses Epistemologis Pencapaian Makna

Kita mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional dimana dalam upaya mengungkapkan lambang-lambang bahasa ke pola yang bermakna tak lain merupakan ekspresi lahiriah, yang terlihat, terdengar dari realitas batin yang kita sebut akal (al’aql). Akal sendiri berarti suatu substansi ruhaniah yang memungkinkan diri rasional mengenali kebenaran dan mampu membedakannya dari kepalsuan. Akal merupakan jalur pencapaian makna, yang berupa pengenalan tempat sesuatu dalam suatu sistem, yang terjadi ketika hubungan di antara sesuatu itu dengan lainnya dalam sistem menjadi jelas dan terpahami. Oleh karena ituakan dilakukan penilaian, pemilahan, pembedaan dan penjelasan, dengan syarat ‘perbedaan fisik’ itu harus tetap demikian.
Dengan demikian, di sini kita akan melihat bahwa hubungan intrinsik antara makna dan ilmu menjadi tampak; yaitu ilmu terdiri atas satuan-satuan makna yang saling terkait secara koheren dengan yang lain, sehingga membentuk gagasan-gagasan, konsep-konsep dan penilaian-penilaian.


Haqq : Realitas dan Kebenaran

Haqq memiliki arti realitas sekaligus kebenaran. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan keadilan, kebenaran, realitas, ketepatan, kepantasan yang menunjuk bukan hanya pada pernyataan akan kata-kata yang diucapkan, namun juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian serta hal-hal atau kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisi sekarang, tapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan kondisi yang akan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi dan aktualisasi.

Haqq Sebagai Kebenaran

Ketika kita mengatakan bahwa haqq menunjuk pada yang real maupun yang benar, maksudnya adalah haqq mempunyai aspek antologis, yaitu segala ciptaan telah diatur sedemikian rupa, namun manusia karena kejahilannya akan tatanan yang adil, meliputi semua makhluk, membuat perubahan dengan mengacaukan kondisi-kondisi itu, sehingga terjadi ketidakadilan. Ketidakadilan berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sehingga bila dilihat dalam hubungannya dengan tatanan umum dari sesuatu, ketidakadilan adalah disharmoni.
Berkenaan dengan itu, pernyataan-pernyataan sains yang berhubungan dengan manusia, seperti munculnya pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan umum rekayasa genetika, misalnya, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, ettap saja salah karena dibangun di atas premis-premis yang didasarkan pada penafsiran yang salah tentang hakikat manusia, yang pada gilirannya bergantung pada sistem yang salah, meskipun dianggap telah menggambarkan tatanan reralitas yang benar.

Haqq Sebagai Realitas

Kita setuju bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan dan cara sampainya, indera dan fakultas yang menerima dan menafsirkannya, jelas tak sama. Karena semua ilmu berasal dari Tuhan dan ditafsirkan oleh diri dengan fakultas jasmani dan ruhaniah, maka definisi ilmu secara epistemologis, dengan acuan kepada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah sampainya makna ke diri. Dengan acuan kepada diri sebagai penafsir dan penerima aktifnya, ilmu adalah sampainya diri kepada makna.
Kini, suatu kata atau benda adalah sesuatu lambang, dan untuk mengetahuinya sebagaimana adanya adalah mengetahui apa yang diacunya, apa yang dilambangkan, apa maknanya. Kalau kita menganggap kata atau benda itu memiliki realitas sendiri yang independen, maka ia bukan lagi tanda atau lambang, karena keberadaannya adalah untuk menunjuk kepada dirinya sendiri.
Demikian juga kajian atas alam atau apa saja, atas setiap objek ilmu di dunia ciptaan; jika dipahami oleh realitas independen, maka kajian ini akan kehilangan tujuan sesungguhnya dan pencarian ilmu menjadi suatu penyimpangan dari kebenaran; karena sesuatu sebagaimana adanya (yaitu hakikatnya) adalah berbeda dari dirinya sendiri dan sesuatu yang berbeda itulah yang merupakan maknanya.
Makna telah dikatakan tepat bila apa yang kita pandang sebagai makna adalah ditentukan oleh pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran sebagaimana yang di tampilkan oleh sistem konseptual Qur’ani.


Pencarian Makna Dalam Sains

Hikmah : Mengenali Batas Kebenaran

Ilmu bersifat tidak terbatas karena objek ilmu tidak ada batasnya, tetapi ada suatu batas kebenaran dalam setiap objek ilmu, sehingga pencarian ilmu yang benar bukanlah suatu pencarian yang tanpa batas.
Kebenaran adalah dirinya sendiri semata-mata, tidak kurang atau lebih. Bagi setiap kebenaran ada batas yang sepadan dengannya, ilmu tentang batas itu adalah kearifan atau hikmah. Dengan demikian ilmu yang benar adalah ilmu yang mengenal batas kebenaran dalam setiap objeknya. Karena sesungguhnya ketika kita membahas suatu objek kebenaran, kita telah melupakan objek itu, dan yang menjadi perhatian kita adalah cara kita berfikir dan memperoleh ilmu. Karenanya tidak semua objek kebenaran memerlukan pengkajian yang mendalam, sampai ke tingkat asal usul akhirnya sebelum kita memperoleh ilmu tentang objek-objek itu.

Sains Sebagai Tafsir dan Ta’wil

Pengkajian atas penjelasan aspek-aspek sains dalam alam empiris yang samar dan bermakna ganda harus didasarkan  pada yang telah diketahui dan pasti (tafsir). Pencarian, penemuan dan penampakan makna-makna yang tersembunyi dalam Al Qur’an disebut penafsiran alegoris (ta’wil) dan ini didasarkan pada ayat-ayat yang jelas dan pasti (tafsir).
Pada dasarnya, ta’wil berarti mencapai makna asal dan hakiki dari sesuatu melalui proses dan menggunakan akal untuk memperoleh pemahaman. Meskipun demikian, tetap saja ada hal-hal yang makna hakikinya tidak dapat ditangkap oleh akal, dan orang-orang yang ilmunya mendalam menerima secara apa adanya melalui kepercayaan yang benar, yang kita sebut iman.  Inilah posisi kebenaran; ada batas-batas bagi makna sesuatu dan tempat segala sesuatu itu terjadi, erat dengan batas-batas kebermaknaannya.
Sekular filsafat dan sains modern menganggap perubahan sebagai hakikat akhir realitas. Karena peran sains adalah menjabarkan fakta, dan fakta mengalami perubahan terus-menerus (akibat realitas yang melatarbelakangi merupakan proses). Itulah sebabnya sekularisasi sebagai program filsafat dalam upaya untuk memperoleh kesesuaian dengan realitas yang dipandang sebagai perubahan mutlak menganjurkan perubahan dalam segala aspek kehidupan, menolak penetapan kata akhir dalam pandangan dunia dan perubahan keyakinan akan masa depan yang terbuka.
Pandangan kita bahwa perubahan adalah suatu realitas tidak menyebabkan kita memandang bahwa realitas bersifat mutlak; sebab kita memandang bahwa realitas bersifat tetap, namun dalam pengertian bahwa perubahan terjadi melalui sesuatu yang tetap.
 Seperti halnya alam, fenomenanya adalah proses-proses yang rinciannya bersifat tak sinambung. Ketidaksinambungan ini terjadi karena sifat fenomena yang terus digantikan oleh hal-hal baru yang serupa. Tetapi sementara alam fenomena selalu baru, realitas berubah namun tetap sama. Maka realitas merupakan proses peralihan kembali yang tak pernah putus dan berlangsung terus-menerus dalam eksistensi sedangkan aspek dan bentuk fenomenalnya musnah pada saat aktualisasi.
Berkaitan dengan itu, Al Qur’an menggunakan ungkapan lain, baqa’. Suatu kategori metafisika ketiga antara eksistensi dan non eksistensi dan ini adalah wilayah esensi-esensi asali yang tetap (al-a’yan al tsabitah) yang merupakan aspek-aspek nama dan sifat Tuhan mengenai Realitas Tertinggi, yaitu Tuhan meskipun Ia menggambarkan diri-Nya dalam istilah-istilah dinamisme mutlak yang eksplisit, Ia terlalu agung untuk dipahami sebagai selalu berada dalam proses, yang digambarkan sebagai keadaan menjadi atau transformasi. (Syed Muhammad Naquib Al Attas, 1995)


Dapatlah dikatakan bahwa informasi ini sendiri bukanlah sesuatu yang baik atau buruk. Adalah pemakainya yang membuat benar atau salah penggunaan informasi. Sains, sebagaimana dikatakan, tidaklah membawa mudharat, mudharatnya berasal dari orang yang menggunakannya.
Tampaklah pengalaman-pengalaman dengan teknologi-teknologi baru tidak melahirkan riset terapan yang mengadaptasi dan mengintegrasikan dengan kondisi-kondisi lokal, malah bentuk-bentuk baru kebergantungan pada ahli-ahli asing menjadi kuat dan menghalangi adanya riset pribumi.
Para elit politik, sistem pendidikan dan gambaran konvensional tentang sains dan teknologi, memainkan bagian-bagian penting dalam menciptakan imagi tentang kebergantungan dan ketidakberdayaan di negara-negara Muslim.
Ada beberapa hal yang bisa kita tindaklanjuti berkaitan dengan pengembangan ilmu dan teknologi antara lain :
q  Mengembangkan suatu pandangan terbuka bahwa budaya membaca adalah suatu hal yang positif dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang keadaannya.
q  Mengembangkan skema-skema klasifikasi bagi bahan-bahan tentang Islam dan literatur sendiri, juga membuat aturan yang lebih tepat tentang pengideksan dan pengkatalogan.
q  Memantau arus gagasan yang berasal dari Barat dan memberi gagasan yang lebih tepat dan relevan, diperhatikan oleh para pemikir dan intelektual Muslim, misalnya penerbitan bibliografi-bibliografi, esai tinjauan, catatan-catatan pendek, ikhtisar-ikhtisar serta buletin-buletin tentang persoalan masanya.
q  Menyatukan sarjana-sarjana Muslim dan pemikir Islam yang berpikiran sama, misalnya dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan konferensi-konferensi.
q  Mengembangkan industri penerbitan sehingga dapat mendorong pemikir Islam untuk menulis dan membantu individu-individu untuk membeli dan membaca buku.
q  Mengkampanyekan pemberantasan buta huruf.
q  Mengupayakan disebarkannya informasi ‘kelangsungan hidup’ mendasar di kalangan penduduk, yaitu informasi yang menyangkut pelayanan kesehatan, perlindungan lingkungan dan resiko pekerjaan, hak-hak penduduk serta tanggung jawab sosial.
q  Meningkatkan alih informasi di antara negeri-negeri Muslim dengan membangun jaringan informasi tersirat.
q  Mengembangkan kesadaran ‘kritis’ terhadap bidang yang menjadi perhatian bersama lebih intensif serta ekstensif dalam meninjau, mengkritik dan mengevaluasi literatur yang ada. (Ziauddin Sardar, 1988)







Sebuah  diskusi umat Islam sekarang yang sebenarnya sudah menunjukkan eksistensi umat Islam di era modern ini, antara lain :
q  Mengapa umat Muslim mengalami kemunduran dan umat mon Muslim mengalami kemajuan di era sekarang?
Umat Muslim mundur karena meninggalkan agamanya atau meninggalkan ajaran agamanya. Dan orang yang bukan Islam maju karena meninggalkan agamanya. Sama-sama meninggalkan ajaran agamanya, akibatnya ada satu yang mundur dan yang satunya maju.
q  Mengapa umat Islam meninggalkan agamanya, padahal ia adalah seorang Muslim?
Sekalipun Muslim, tapi ia melakukan, menerapkan ajaran dan tata cara yang bukan Muslim, maka tidak ada jaminan untuk maju dan kuat. 
q  Apa sebabnya umat Islam meninggalkan agamanya?
Sesuai hadist Rasulullah, yaitu Tsaubaan, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunnannya, yang juga dalam kitab “Dalaailul Mudhillah” :
“Nanti ada suatu saat kaum Muslimin akan diperebutkan oleh orang yang bukan Islam, seperti orang yang lapar memperebutkan sepiring nasi”.
q  Apakah pada waktu itu jumlah kami termasuk sedikit (minoritas) ya Rasullulah?
“Tidak! Bahkan kamu pada saat itu cukup (mayoritas) banyak jumlahnya. Tapi jumlah kamu yang banyak itu laksana busa buih yang dibawa oleh air bah dari hulu, kemudian dipermainkan di atas ombak dan gelombang besar. Buih yang kelihatan besar tetapi isinya kosong”.

Karena keadaanmu pada waktu itu laksana buih, maka Allah menimpakan akibatnya yaitu:
Tiada lagi rasa respek (mahabbah) dari orang yang non Islam kepada orang Islam. Adanya, bahkan dengan jumlah banyak itu, dianggap sama dengan tidak ada. Umat Islam dihinggapi pada suatu penyakit yang disebut “Wahan”.
“Rasa takut tertanam di dalam hati kamu, dan rasa takut itu tercabut dari hati para musuh kamu”.
Penyakit Wahan ini ialah penyakit kehilangan kesembangan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Kamu diserang penyakit cinta pada dunia dan tertanam rasa takut mati pada kamu (HR. Abu Dawud dari Tsaubaan)”.
Oleh karena itu Imam Malik berkata:
“Mengobati umat Islam sekarang ini, tiada resep lain, selain mempergunakan resep umat yang terdahulu, yang dimasa Rasullulah dan para Khulafaur Rasyidin”. (KH. Hasan Basri, 1989)

Baca selengkapnya.... - Islam dan Filsafat Islam

DIMENSI RUANG DAN WAKTU


DIMENSI RUANG DAN WAKTU DALAM PROSES KLONING

           

Berabad-abad lamanya mulai zaman prasejarah sampai sekarang ini setiap penemuan baru sebagai hasil teknologi dan ilmu pengetahuan selalu menghasilkan pertentangan mengenai dampak positif dan negatifnya.  Seperti penemuan api, kapak, mesin-mesin, alat-alat komunikasi, demikianpun dalam bidang bioteknologi (rekayasa genetika) selalu ada yang mendukung dan ada yang menentang. Tinggal tergantung pada kita manusia, apakah segi positifnya yang dikembangkan atau negatifnya ??? Dalam perkembangannya mana yang lebih dominan, apakah segi positifnya atau negatifnya; kita semua manusia penghuni planet bumi ini sampai ke anak cucu  yang menentukan dan merasakannya.
             Rekayasa genetika (teknologi rekombinan, kloning, transgenik) sampai saat ini juga  masih menjadi masalah, dimana ada pertentangan antar berbagai kalangan, mulai dari individu, kelompok, politikus, negarawan bahkan kalangan rohaniawan.  Masalah utama bukan lagi pada teknologinya tetapi pada penerimaan masyarakat terhadap hasil-hasil rekayasa genetika.  Apalagi masalah kloning manusia yang berhubungan langsung dengan kehidupan di bumi ini.   Seperti poling pendapat yang dilakukan oleh majalah Time dan CNN pada bulan Februari 2001, dimana hasilnya 90 % menyatakan bahwa kloning manusia merupakan ide yang buruk, bahkan 69 % menjawab bahwa kloning manusia melawan Tuhan Allah (1).  Sekalipun para ilmuan mengungkapkan bahwa kloning yang dilakukan bertujuan untuk penyembuhan penyakit (terapeutik), seperti keberhasilan perusahaan bioteknologi Advanced Cell Tecnology (ACT) Inc. dari Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat, mengembangkan sel tunas (sel stem) menjadi sel tertentu untuk menggantikan jaringan tubuh yang terserang penyakit; tetapi tetap masih ada kontroversi antar berbagai kalangan (2).
            Dari berbagai masalah di atas dapat disarikan bahwa sekarang ini ada kekhawatiran tentang  kloning manusia karena prosesnya melawan kodrat,  dimana : 
1)     menghasilkan individu yang sama, sekalipun beda generasi
2)     menghasilkan individu “ monster” , perusak dan tidak berperasaan
3)     menghasilkan individu “ sesuai pesan sponsor”
Masalah-masalah di atas sedikit-banyaknya  dapat ditangkal dengan menciptakan kode etik / bioetika secara universal yang dapat dipatuhi oleh semua bangsa seperti yang telah dikemukakan dalam Universal Declaration on the Human Genome and Human Rights, 1997 (3).  Akan tetapi, selalu ada masalah dan pertanyaan yang muncul, misalnya : Apakah benar proses kloning menghasilkan individu yang sama ???.  Pertanyaan ini yang coba dijawab di sini sehingga  paper ini  diberi judul :  Dimensi Ruang dan Waktu dalam Proses Kloning

Filosofis Dimensi Ruang dan Waktu

            Dalam memahami alam fisik dari quark – atom – unsur – molekul organik/anorganik – sampai jagad raya ini, kita tidak dapat meninggalkan pengertian menegenai ruang dan waktu.   Pengertian ruang dan waktu menurut para ahli seperti yang dikemukakan dalam Kattsoff (1996)(4) adalah sebagai berikut :
            Menurut ajaran Newton ruang dan waktu adalah objektif, mutlak dan bersifat universal.  Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas-bawah, depan belakang, kiri kanan. Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang.  Di dalam ruang kita dapat pergi ke setiap arah; di dalam waktu kita hanya dapat pergi ke depan.  Untuk dapat menjelaskan bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak, maka Newton mengemukakan hukum gerakan yang hakiki dari fisika kuno sebagai berikut :”Suatu benda terus berada dalam keadaan diam atau bergerak, kecuali apabila mendapat pengaruh dari suatu keadaan yang terdapat di luar dirinya. Jika sesuatu benda dalam keadaan bergerak, maka ia akan tetap bergerak, kecuali jika ada sesuatu – sesuatu kekuatan – yang mengubah gerakan tersebut.  Gerakan merupakan akibat suatu kekuatan yang mempengaruhi massa”. Jadi di sini gerakan bersifat mutlak yang terjadi di dalam ruang dan waktu; dengan demikian ruang dan waktu juga bersifat mutlak.
            Gagasan-gagasan mengenai ruang dan waktu yang bersifat mutlak di atas ternyata menemui kesukara-kesukaran karena timbulnya paradoks-paradoks maupun setelah ditemukannya hukum relatifitas oleh Einstein serta kesukaran-kesukaran dalam pengamatan.
Paradoks yang terkenal dikemukakan oleh Zeno (kira-kira 490 – 430 S.M.), ia menyatakan bahwa banyak keganjilan akan terjadi jika orang mengatakan bahwa gerakan merupakan suatu kenyataan. Salah satu paradoks dikemukakan di sini yaitu “anak panah yang melayang”  (Jika kita memiliki anak panah ukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter, kemudian anak panah itu kita lepaskan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut tetap berukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter. Sedangkan kita mengatakan bahwa berukuran sepanjang 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut berada dalam keadaan diam.  Maka dalam hal ini terdapat suatu contradictio in terminis).
            Kesukaran berkenan dengan pengamatan, misalnya apakah benar sesuatu yang terlihat antara dua obyek adalah suatu ruang ?. Gambaran pengamatan pada bola mata kita bermatra dua, dan jarak (ruang) yang kita alami berasal dari tangkapan indrawi dalam otot mata.  Ini berarti bahwa yang kita tangkap itu bukanlah ruang sebagai kenyataan, melainkan sekedar jarak-jarak yang memisahkan obyek-obyek, karena seandainya tidak terdapat obyek di situ, maka tidak ada sesuatupun yang kita lihat.  Jika demikian, maka gerakan , waktu dan ruang mengacu pada suatu obyek tertentu.  Jadi jika tidak ada obyek, maka tidak mungkin kita dapat menangkap ruang, waktu dan gerakan yang mutlak dalam kenyataannya.
            Menurut ajaran Einstein, ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya.  Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu.  Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnyapun akan berbeda.   Waktu juga bersifat relatif karena hasil pengukuran terhadap hubungan-hubungan yang menyangkut waktu tergantung pada pengertian keserampakan (simultaneity); karena apabila sesuatu terjadi, misalnya ledakan, maka kuatnya bunyi ledakan akan berbeda di berbagai tempat.  Selanjutnya H.A. Lorentz membuat suatu teori “ persamaan transformasi” yang melukiskan hubungan antara cara-cara pengukuran jarak – juga cara-cara pengukuran waktu – yang menyangkut dua pengamat yang mempunyai kerangka acuan  yang berbeda dan berada dalam keadaan bergerak secara lurus, yang saling mendekati. Di sini didapatkan sebenarnya jarak merupakan sekedar ukuran untuk menentukan ruang; demikianpun dengan  transformasi dengan waktu dan hubungannya dengan ruang; Kita tidak akan pernah mengetahui waktu secara tepat apabila tidak memperhitungkan koordinat ruang dan sebaliknya kita tidak akan mengetahui ruang dari suatu obyek bila tidak memperhitungkan koordinat waktu.  Sesungguhnya tidak ada waktu yang bersifat mandiri / mutlak, tidak ada ruang yang terpisah dari waktu atau waktu yang terpisah dari ruang yang ada hanyalah ruang-waktu. Akhirnya mulai saat ini kita harus memandang ruang dan waktu secara kontinuum, jalin-menjalin secara tidak terpisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lainnya; keduanya merupakan satu kesatuan yang menyebabkan timbulnya segenap kenyataan.  Dengan demikian waktu, ruang merupakan sekedar matra dari ruang-waktu.
            Menurut Alexander, jika kita berusaha memehami ruang dan waktu dalam keadaan apa adanya, maka yang terjadi ialah bahwa kita berusaha memahami benda-benda serta kejadian-kejadian dalam keadaannya yang paling sederhana serta paling mendasar dalam ruang (extension) serta bertahan dalam waktu (enduring), dengan segenap sifat-sifat yang dipunyai oleh kedua macam ciri tersebut.  Baik ruang maupun waktu tidak berada sendiri-sendiri secara terpisah, dan kedua-duanya tampil di depan kita secara empiris.  Jika tidak ada waktu, maka tidak mungkin ada bagian dari ruang, bahkan yang ada hanyalah kehampaan belaka; dan demikian pula halnya dengan ruang, dalam hubungannya dengan waktu.
            Selanjutnya, sehubungan dengan itu tidak mungkin ada titik-titik yang menyusun ruang, tanpa sekelumit waktu yang dapat menimbulkan gagasan kejadian-kejadian murni (pure events) sehingga  dapatlah dikatakan bahwa ruang – waktu merupakan keadaan yang nyata yang paling dalam dan merupakan tempat persemaian bagi apa saja yang ada di alam ini.  Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang menjadi sumber bagi adanya segala sesuatu, sedangkan kejadian-kejadian yang murni merupakan penyusun terdalam dari apa saja yang bereksistensi.  Apabila kejadian-kejadian murni tersebut membentuk suatu pola tertentu, maka munculah kualitas-kualitas fisik tertentu, misalnya sebuah elektron dengan ciri-cirinya.  Jadi materi merupakan  sesuatu yang pertama-tama muncul dari ruang – waktu.  Sebagai contoh kita perhatikan partikel subatom, seperti sebuah electron.  Bagaimana kita menggambarkan partikel tersebut ?  Tidak seorangpun dapat melihat suatu partikel subatom; partikel ini mungkin berupa sejenis perubahan dalam ruang pada suatu waktu tertentu; artinya suatu kejadian yang murni yang hanya dapat disimak melalui kejadian-kejadian tertentu yang dicatat oleh “ pointer-reading”, misalnya oleh instrumen mikroskop elektron.  Hasil-hasil penggabungan kejadian-kejadian murni menimbulkan materi yang lebih rumit dan mempunyai sifat-sifat tertentu pula.

Proses Kloning
            Pengertian kloning yaitu : gen-gen yang direkombinasi dan di kembangkan.  Kloning berasal dari kata “clone” yang diturunkan dari bahasa Yunani “klon” yang artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman.  Kata ini digunakan dalam dua pengertian (1) klon sel adalah sekelompok sel yang identik sifat-sifat genetiknya, semua berasal dari satu sel. (2) klon gen atau molekuler adalah sekelompok salinan gen yang bersifat identik yang direplikasi dari satu gen yang dimasukan dalam sel inang (5)
            Proses kloning manusia dapat digambarkan seperti ditunjukkan dalam Reuters (6) dan dijelaskan secara sederhana sebagai berikut :
·        Mempersiapkan sel stem : suatu sel awal yang akan tumbuh menjadi berbagai sel tubuh.  Sel ini diambil dari manusia yang hendak dikloning.
·        Sel stem diambil  inti sel yang mengandung informasi genetic kemudian dipisahkan dari sel.
·        Mempersiapkan sel telur : suatu sel yang diambil dari sukarelawan perempuan kemudian  intinya dipisahkan.
·        Inti sel dari sel stem  diimplantasikan ke sel telur  
·        Sel telur dipicu supaya terjadi pembelahan dan pertumbuhan.  Setelah membelah (hari kedua) menjadi sel embrio.
·        Sel embrio yang terus membelah (disebut blastosis) mulai memisahkan diri (hari ke lima) dan siap diimplantasikan ke dalam rahim.
·        Embrio tumbuh dalam rahim menjadi bayi dengan kode genetik persis sama dengan sel stem donor.
            Dari pengertian kloning dan prosesnya di atas yang menghasilkan individu baru dan mempunyai sifat genetik yang “identik” (sama).  Sifat “identik” inilah yang akan coba dibahas dalam koridor ruang – waktu proses kloning.


Ruang – Waktu  Proses Kloning


            Reaksi-reaksi kimia = biokimia yang terjadi pada organisme berlangsung dalam batasan yang diberikan oleh ukuran sel dan ruang-ruang di dalamnya, juga oleh sifat-sifat fisik dan kimia yang sejalan dengan kehidupan sel (7). Terciptanya ruang-ruang pada waktu tertentu di dalam sel karena adanya materi-materi di dalamnya yang saling berinteraksi. Materi-materi itu yang menurut Alexander di atas merupakan hasil penggabungan-pengabungan kejadian-kejadian murni yang membentuk ruang-waktu.  Materi-materi yang dimaksud disini adalah: quark, sub atom (electron, proton, netron), atom, unsur-unsur, molekul sederhana , makro molekul seperti DNA dan RNA  yang menjadi penyusun gen-gen yang diwariskan di dalam sel-sel yang berkembang menjadi jaringan-jaringan, organ-organ makhluk hidup.
            Pada setiap tingkatan materi di atas dalam interaksinya  menghasilkan ruang-waktu dan sebaliknya adanya ruang-waktu karena adanya interaksi materi-materi, dimana menghasilkan sifat-sifat tertentu yang menjadi ciri materi itu.  Apabila kita memandang sifat-sifat itu dalam konsep ruang–waktu menurut Newton, maka sifat-sifat itu bersifat mutlak (tidak berubah) sedangkan menurut Einstein, maka kita dapat mengatakan bahwa sifat-sifat itu adalah relatif.
            Sifat relatif materi menurut Einstein, sejalan dengan yang diungkapkan dalam Lehninger(8) yang menyatakan bahwa ke 20 asam amino penyusun protein bukan hanya merupakan 20 unit penyandi, karena setiap asam amino dapat memberikan arti yang berbeda-beda pada protein, selanjutnya dikatakan bahwa kromosom dan gen bersifat tidak stabil dan bukan merupakan struktur inert, molekul-molekul ini dapat mengalami mutasi dan kadang-kadang menyebabkan gangguan serius pada fungsi biologi.  Selanjutnya dalam Nosoetion(9) menyatakan bahwa walaupun setiap spesies dipercaya tercipta secara khusus tetapi kenyataan menunjukkan bahwa di dalam spesies terdapat keragaman.
            Apabila kita menarik lebih jauh ke belakang atau menguraikan materi (gen) menjadi unsur-unsur pembentuknya, kemudian unsur itu menjadi atom-atom dan memperhatikan reaksi kimia yang terjadi maka kita akan temukan berbagai sifat yang berbeda dari materi itu. Sifat yang berbeda disebabkan oleh elektron dalam atom unsur penyebab terjadinya reaksi kimia  berada dalam “orbital” (kebolehjadian ditemukannya elektron)(10) yang membuat struktur atom unsur-unsur unik (11).  Karena dalam orbital , maka tidak diketahui di bagian mana (ruang-waktu mana) reaksi/interaksi itu terjadi; sehingga ada kemungkinan besar sekalipun unsur-unsur pembentuknya sama, tetapi  dapat menghasilkan materi-materi yang mempunyai sifat yang berbeda. 
Apalagi sementara /setelah ditemukan  pasangan-pasangan gen manusia yang berjumlah sekitar 3 milyar dalam The Human Genom Project (12) yang tentunya dalam interaksinya misalnya dengan proses kloning, yang sekalipun diatur sedemikian rupa, akan tetapi pasti menghasilkan individu yang berbeda dengan induknya. 

Kesimpulan :
            Dari uraian diatas dalam rangka menjawab pertanyaan dalam pendahuluan, maka disimpulkan bahwa proses kloning tidak mungkin menghasilkan individu yang “identik” / sama.  “ Allah Maha Kuasa “.

Pustaka
(1).   Human cloning, http://www.religioustolerance.org, visited Sept.10, 2001.
(2).   Konttroversi kloning manusia, dalam Kompas, Selasa 4 Desember 2001
(3).  Universal Declaration on the Human Genom and Human Rights, 1997,  http://www.unesco.org/opi/29genom/agenkit.htm, visited Nov.20, 2001.
(4).   Kattsoff. L.O. Pengantar Filsafat.,  alih bahasa : Soejono Soemargono, 1996. Tiara Wacana, hal. 239 – 260.
(5).  Ligninger.A.L. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 3., alih bahasa: Maggy Thenawijaya,1994.Erlangga. hal. 263, 267.
(6).  Membuat cloning manusia, dalam Kompas, Selasa 27 November 2001.
(7) .  Legninger.A.L. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1., alih Bahasa : Maggy Thenawijaya,1993 Erlangga. hal.17.
(8).   Ibid (5). hal. 124, 125.
(9).   Nosoetion. A.H. Pengantar ke Filsafat Sains.1999. Litera AntarNusa, hal. 163,164.
(10). Meissler. G.L., and D.A. Tarr. In Organic Chemistry. 1991. Prentice-Hall International Edition, p. 28
(11).Structure of the Atom, http://www.nyu.edu/pages/mathmol/texbook/atom. . Visited. Nov. 23. 2001.
(12). Tarumengkeng. R.C.  Tantangan Biologiwan Abad ini, dalam Pembukaan Seminar. Hasil-hasil Penelitian Biologi, Pusat studi Ilmu Hayati, IPB, 20 September 2001.

Baca selengkapnya.... - DIMENSI RUANG DAN WAKTU

Sang Arsitek dan Penari Ulung



Di antara makhluk paling memukau di alam ini adalah lebah madu,
makhluk mungil yang menghidangkan kita sebuah minuman yang sempurna, yaitu madu yang dihasilkannya.
Lebih Hebat dari Ahli Matematika
Lebah madu hidup sebagai koloni dalam sarang yang mereka bangun dengan sangat teliti. Dalam tiap sarang terdapat ribuan kantung berbentuk heksagonal atau segi enam yang dibuat untuk menyimpan madu. Tapi, pernahkah kita berpikir, mengapa mereka membuat kantung-kantung dengan bentuk heksagonal?
Para ahli matematika mencari jawaban atas pertanyaan ini, dan setelah melakukan perhitungan yang panjang dihasilkanlah jawaban yang menarik! Cara terbaik membangun gudang simpanan dengan kapasitas terbesar dan menggunakan bahan bangunan sesedikit mungkin adalah dengan membuat dinding berbentuk heksagonal.
Mari kita bandingkan dengan bentuk-bentuk yang lain. Andaikan lebah membangun kantung-kantung penyimpan tersebut dalam bentuk tabung, atau seperti prisma segitiga, maka akan terbentuk celah kosong di antara kantung satu dan lainnya, dan lebih sedikit madu tersimpan di dalamnya. Kantung madu berbentuk segitiga atau persegi bisa saja dibuat tanpa meninggalkan celah kosong. Tapi di sini, ahli matematika menyadari satu hal terpenting. Dari semua bentuk geometris tersebut, yang memiliki keliling paling kecil adalah heksagonal. Karena alasan inilah, walaupun bentuk-bentuk tersebut menutupi luasan areal yang sama, material yang diperlukan untuk membangun bentuk heksagonal lebih sedikit dibandingkan dengan persegi atau segitiga. Singkatnya, suatu kantung heksagonal adalah bentuk terbaik untuk memperoleh kapasitas simpan terbesar, dengan bahan baku lilin dalam jumlah paling sedikit.
Hal lain yang mengagumkan tentang lebah madu ini adalah kerjasama di antara mereka dalam membangun kantung-kantung madu ini. Bila seseorang mengamati sarang lebah yang telah jadi, mungkin ia berpikir bahwa rumah tersebut terbangun sebagai blok tunggal. Padahal sebenarnya, lebah-lebah memulai membangun rumahnya dari titik yang berbeda-beda. Ratusan lebah menyusun rumahnya dari tiga atau empat titik awal yang berbeda. Mereka melanjutkan penyusunan bangunan tersebut sampai bertemu di tengah-tengah. Tidak ada kesalahan sedikitpun pada tempat di mana mereka bertemu.
Lebah juga menghitung besar sudut antara rongga satu dengan lainnya pada saat membangun rumahnya. Suatu rongga dengan rongga di belakangnya selalu dibangun dengan kemiringan tiga belas derajat dari bidang datar. Dengan begitu, kedua sisi rongga berada pada posisi miring ke atas. Kemiringan ini mencegah madu agar tidak mengalir keluar dan tumpah.
Berkomunikasi dengan Menari
Untuk mengisi kantung-kantung ini dengan madu, lebah harus mengumpulkan nektar, yakni cairan manis pada bunga. Ini adalah tugas yang sangat berat. Penelitian ilmiah terkini mengungkapkan bahwa untuk memproduksi setengah kilogram madu, lebah harus mengunjungi sekitar empat juta kuntum bunga. Mendapatkan bunga-bunga ini pun adalah pekerjaan berat tersendiri. Oleh karenanya, koloni lebah memiliki sejumlah lebah pemandu dan lebah pencari makan.
Bagaimana lebah pencari makan menemukan bunga di wilayah yang begitu luas dibanding ukuran tubuh mereka?
Bagaimana mereka menemukan jalan kembali ke sarang tanpa tersesat? Bagaimana mereka memberitahu lebah-lebah lain tentang arah sumber bunga? Tatkala kita berusaha menjawab beragam pertanyaan ini, kita akan sampai pada kenyataan yang sungguh menakjubkan.
Ketika seekor lebah telah menemukan sumber bunga, maka tugas berikutnya dari lebah pemandu ini adalah untuk kembali ke sarang dan memberitahu lebah-lebah lain tentang lokasi di mana ia menemukan kumpulan bunga tersebut. Segera setelah lebah pemandu kembali ke sarangnya, ia mulai memberitahukan lokasi sumber bunga yang ia temukan kepada lebah-lebah lain. Pertama, ia membiarkan lebah-lebah lain mencicipi sedikit nektar yang ia kumpulkan dari bunga untuk memberitahu mereka tentang kualitas nektar tersebut. Lalu ia memulai tugas utamanya, yakni menjelaskan arah menuju sumber bunga. Ia melakukan ini dengan cara yang sangat unik, yaitu dengan tarian. Lebah pemandu mulai menari di tengah-tengah sarang dengan menggoyangkan badannya. Sulit dipercaya, tapi gerakan dalam tarian ini memberikan lebah-lebah lain informasi tentang lokasi sumber bunga. Misalnya, jika tarian berupa garis lurus ke arah bagian atas sarang, maka sumber makanan tepat mengarah ke arah matahari. Jika bunga berada pada arah sebaliknya, lebah akan membuat garis ke arah tersebut. Jika lebah menari ke arah kanan, maka ini menunjukkan bahwa sumber bunga berada tepat sembilan puluh derajat ke arah kanan.
Tetapi ada satu pertanyaan, lebah menjelaskan arah tersebut berdasarkan posisi matahari, padahal posisi matahari terus berubah. Setiap empat menit matahari bergeser satu derajat ke barat, faktor yang mungkin menurut anggapan orang diabaikan lebah dalam penentuan arah ini. Tapi, pengamatan menunjukkan bahwa lebah-lebah ini juga memperhitungkan pergerakan matahari. Ketika lebah pemandu memberitahu arah lokasi bunga, dalam setiap empat menit, sudut yang mereka beritahukan juga bertambah satu derajat ke barat. Berkat perhitungan yang luar biasa ini, para lebah tidak pernah tersesat.
Lebah pemandu tak hanya menunjukkan arah sumber bunga, tetapi juga jarak ke tempat tersebut. Lama waktu tarian dan jumlah getaran memberi petunjuk kepada lebah-lebah lain tentang jarak ini secara akurat. Mereka membawa perbekalan sari-sari makanan yang sekedar cukup untuk menempuh jarak ini, dan kemudian memulai perjalanan.
Perilaku mengagumkan dari para lebah ini telah diuji dalam sebuah penelitian di California. Dalam penelitian ini, tiga wadah berisi air gula diletakkan di tiga tempat yang berbeda. Sesaat kemudian, lebah-lebah pemandu menemukan sumber makanan tersebut. Lebah pemandu yang mendatangi wadah pertama diberi tanda titik; yang mendatangi wadah kedua ditandai dengan garis, dan yang mendatangi wadah ketiga diberi tanda silang. Beberapa menit kemudian, lebah-lebah dalam sarang tampak mengamati dengan cermat para lebah pemandu ini. Para ilmuwan lalu memberi tanda titik pada lebah-lebah yang mengamati lebah pemandu bertanda titik, dan demikian halnya, mereka juga memberi lebah-lebah lain tanda yang sama dengan yang ada pada lebah pemandu yang mereka amati. Beberapa menit kemudian, lebah-lebah bertanda titik mendatangi wadah pertama, yang bertanda garis tiba di wadah kedua dan yang bertanda silang di wadah ketiga. Jadi, terbukti bahwa lebah-lebah dalam sarang menemukan arah berdasarkan informasi yang sebelumnya telah disampaikan oleh lebah-lebah pemandu.
Segala fakta ini hendaknya direnungkan dengan seksama. Dari mana lebah-lebah memperoleh kemampuan berorganisasi yang menakjubkan? Bagaimana seekor serangga mungil yang tak memiliki kecerdasan atau sarana berpikir mampu bertugas sebagai pencari makanan? Bagaimana ia dapat berpikir untuk mencari sumber makanan dan kemudian memberitahukannya kepada rekan-rekan sesarangnya? Bahkan jika ia dianggap mampu memikirkannya, bagaimana ia dapat menciptakan tarian untuk memberitahu yang lain tentang lokasi dan jarak sumber makanan? Bagaimana lebah-lebah dalam sarang mampu memahami arti gerakan dan getaran rumit dari lebah-lebah pemandu ?
Teori Evolusi Darwin yang mengklaim bahwa kehidupan di bumi terjadi secara kebetulan, tak mampu menjawab beragam pertanyaan ini. Segala keahlian khusus lebah ini menunjukkan bahwa Penciptanya telah memberikan semua sifat ini kepada mereka.
Allah menciptakan, dan mengilhami mereka untuk melakukan pekerjaan mereka. Fakta ini dinyatakan dalam Al Quran : Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan, bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl, 16: 68-69)
Sumber : HarunYahya

Baca selengkapnya.... - Sang Arsitek dan Penari Ulung

Harmoni Qur’an dan Sains

Eramuslim - Berbicara tentang sains dan hubungannya yang harmonis dan tanpa pertentangan terhadap Al Qur'an masih merupakan sesuatu yang paradoks di dalam masyarakat kita. Invasi pemikiran yang berlandaskan sekularisme yang menjalar dengan pasti dan tanpa terasa (baca: ghazwul fikri) telah menciptakan suatu fenomena dimana banyak orang terjebak dalam suatu dikotomi pemikiran terhadap al-qur'an dan sains.
Tanpa disadari, banyak orang yang menganggap bahwa al-qur'an dan sains merupakan hal yang terpisah. Sudah selayaknya kita sebagai kaum intelektual muslim meluruskan penyimpangan pemikiran semacam ini dan menanamkan kembali pemahaman bahwa al-qur'an dan sains merupakan suatu hubungan yang harmonis. Tidak satu pun ayat-ayat al-qur'an yang bertentangan dengan kemajuan sains dan teknologi, bahkan banyak fenomena kemajuan sains dan teknologi yang termaktub di dalam al-qur'an. Hanya sayangnya, fenomena-fenomena sains dan teknologi yang terdapat di dalam al-qur'an diteliti dan dikembangkan bukan oleh ummat Islam sebagai pemilik kitab tersebut tetapi oleh orang-orang non muslim yang bisa dikatakan 'jauh' darinya. Dan hal inilah yang menyebabkan kemunduran ummat Islam dalam bidang sains dan teknologi setelah sempat mengalami puncak keemasan pada sekitar abad ke-12.
Di dalam kitabnya Jawahir Al-Qur'an, Imam Al-Ghazali membahas dalam bab khusus bahwa Al-Qur'an merupakan sumber dari seluruh cabang ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang akan datang dan yang telah diketahui maupun yang belum diketahui. Hal ini bukanlah sesuatu yang terlalu berlebihan, karena telah banyak bukti yang mengarah kepada hal tersebut. Berikut ini akan dicontohkan segelintir fenomena sains dan teknologi yang terdapat di dalam al-qur'an, dari berbagai bidang ilmu:
Teorema Singularitas
Teori yang melambungkan nama Stephen Hawking, seorang fisikawan teoritik Inggris, dan Roger Penrose, seorang matematikawan Inggris pada pertengahan1960-an ini menjelaskan tentang permulaan alam semesta. Dalam teori singularitas tentang permulaan alam semesta disimpulkan bahwa ada suatu keadaan dimana jarak ruang-waktu antara semua benda yang ada di jagat raya ini sama dengan nol, dan keadaan ini berlangsung sebelum terjadinya dentuman besar (big bang). Eksistensi keadaan singularitas sebagai awal dari alam semesta ini telah difirmankan oleh Allah SWT dalam al-qur'an surah Al-Anbiya 30:
"Dan apakah orang-orang kafir itu tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya..."
Tak ada yang dapat mengetahui apa yang terjadi sebelum terjadinya big bang (kecuali Allah rab al-'alamin), karena pada saat itu seluruh semesta ini merupakan suatu yang padu dimana tidak ada ruang dan waktu, dan hukum-hukum fisika serta persamaan matematika tidak berlaku.

Lebah Sebagai Pelacak Bahan Peledak
"... Dari perut lebah itu keluar minuman yang bermacam-macam warnanya (madu), di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan."
Dari potongan ayat diatas kita bias melihat dan menganalisa tentang tanda yang diberikan oleh Allah tentang keistimewaan salah satu makhluk-Nya yang bernama lebah. Selain memiliki peranan sebagai penghasil madu yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, makhluk Allah ini juga ternyata memiliki keistimewaan lain yang sangat bermanfaat bagi manusia, yaitu sebagai pelacak bahan peledak.
Para peneliti Amerika Serikat, sebagaimana yang dilaporkan oleh Beyond 2000, telah menemukan fenomena yang menunjukkan bahwa lebah sangat membantu dalam upaya deteksi ranjau atau bahan peledak lainnya. Dengan kemampuan yang dimiliki lebah untuk memperoleh simulasi terhadap bahan kimia tertentu dan mencari bahan kimia yang sama tersebut dimana pun ia berada, dapat digunakan untuk membantu petugas keamanan dalam mencari tempat-tempat yang dipasang bahan peledak. Tentu saja bahan kimia yang digunakan untuk simulasi tersebut adalah TNT. Metoda penemuan yang aman dan murah ini telah dirancang oleh Sandia National Laboratories bekerjasama dengan Universitas Montana, AS.
Sekali lagi ummat Islam 'kecolongan' dalam penemuan sains, padahal Allah telah mengindikasikan hal ini dalam surat An-Nahl. Allah SWT juga telah mengistimewakan makhlukNya ini dengan menjadikannya sebagai nama salah satu surat di dalam Al Qur'an, yaitu An-Nahl yang berarti lebah.
Astronomi
Di dalam Al Qur'an terdapat banyak ayat yang membicarakan tentang astronomi. Dr. Maurice Buccaile -dalam bukunya Al Qur'an, Bible dan sains modern- menyebutkan bahwa ada 40 ayat Al Qur'an yang membicarakan secara khusus tentang astronomi. Berikut ini terdapat beberapa fenomena astronomi yang terdapat di dalam Al Qur'an. Mungkin beberapa fenomena ini telah merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi kita. Tapi ingat, Al Qur'an diturunkan15 abad yang lalu, dimana manusia belum mengerti mengenai masalah astronomi secara implisit dan masih menganggap bahwa bumi merupakan pusat alam semesta (Geosentris). Fenomena astronomi secara implisit baru dipahami oleh masyarakat luas beberapa puluh tahun belakangan ini, dan itu jauh setelah Al Qur'an diturunkan.
- Matahari dan bulan memiliki orbit
"Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan begimu malam dan siang." (QS 14:33)
"Demi langit yang memiliki banyak orbit." (QS 51:11)
- Benda-benda langit berasal dari nebula/kabut (Teori Nebula)
"Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih berupa kabut." (QS 41 : 11 )
- Matahari dan bulan memiliki kala revolusi dan kala rotasi
"Dan matahari dan bulan beredar menurut perhitungan" (QS 55 : 5)
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya anzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang mengetahui." (QS 10:5)
- Jumlah Planet
"(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah kaukab (planet), matahari, dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS 12 :4)
Selama ini kita hanya mengenal sembilan buah planet dalam galaksi Bimasakti, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto. Lalu bagaimana dengan pernyataan Al Qur'an bahwa jumlah planet itu? Apakah pernyataan itu keliru? Coba kita tengok penemuan terbaru dari riset yang dilakukan oleh para astronom di AS, bahwa ada suatu penemuan spektakuler tentang planet ke-10 di dalam galaksi Bimasakti. Bagi para ummat muslim, penemuan ini seharusnya bukanlah sesuatu yang spektakuler, karena Al Qur'an telah menyebutkan tentang fenomena ini 15 abad yang lampau. Lalu bagaimana dengan planet ke-11? Hanya dengan perjalanan waktulah hal tersebut akan terungkap. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
Reproduksi Manusia
Masalah reproduksi manusia adalah salah satu fenomena biologis yang dibahas di dalam Al Qur'an. Fenomena ini dibahas secara lengkap dan lugas dalam penyampaiannya, termasuk tentang proses penciptaan manusia secara bertahap.
"Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian." (QS 71:114)
Manusia diciptakan dari setetes air (mani), yang bertemu dengan sel telur (ovum) dan mengalami fertilisasi.
"Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata." (QS 16:4)
"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)." (QS 75:37)
Selanjutnya di dalam rahim terjadilah tahap-tahap kejadian manusia secara embriologis.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS 23 : 12,13,14)
Demikianlah tahap-tahap perkembangan janin di dalam rahim menurut Al Quran dan fenomena perkembangan janin dalam rahim ini baru ditemukan oleh para ahli kedokteran pada sekitar awal abad 20 atau 14 abad semenjak Al Qur'an diturunkan.
Fenomena-fenomena sains yang memiliki hubungan yang harmonis dan sejalan dengan Al Qur'an di atas hanyalah segelintir dari fenomena sains lainnya yang terdapat di dalam Al Qur'an, baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui. Tugas kitalah sebagai kaum intelektual muslim untuk mengkaji lebih jauh fenomena-fenomena sains yang terdapat di dalam Al Qur'an. Jangan biarkan apa yang telah diberikan Allah sebagai mukjizat kepada kita (Al Qur'an) menjadi sia-sia.

Di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini, marilah kita memulai suatu langkah awal yang akan membawa warna baru dalam kemajuan sains dan teknologi demi tegaknya kembali kejayaan Islam yang pernah eksis 12 abad yang lampau. Hal ini dapat dimulai dengan membaca, mengerti dan mampu memahami tafsir Al Qur'an karena hanya dengan berpegang teguh kepada Al Qur'an dan Assunnah-lah kejayaan Islam akan mampu kembali tegak. Dengan meneguhkan azzam kita, semoga Allah menjadikan kita ke dalam golongan ulil albab. Amin.
Wallahu a'lam bishawaab.
Baca selengkapnya.... - Harmoni Qur’an dan Sains