skip to main |
skip to sidebar
Koruptor
Ada satu jenis mahluk hidup yang saat ini sedang tumbuh subur.
Ia berdaun telinga, dan berbatang hidung.
Ia bukanlah pohon rindang yang meneduhkan di kala terik...
Spesies ini tidaklah bertaring,
tapi ia menghisap...
Tidak pula berekor,
tapi pantas kita sebut 'tikus'!!!
koruptor...
bagai drakula, kau penghisap...
bagai tikus, kau perusak...
penghisap kekayaan negara,perusak kejayaan bangsa.
koruptor,
tidakkah kau malu telah mengambil yang bukan hakmu?!
angin menjawab,
'tikus tak pernah punya malu'
koruptor,
tidakkah kau sadar,
kejahatanmu akan menyengsarakan kami???
angin kembali bicara,'drakula tidaklah punya hati!'
hai koruptor!
kan kutemukan 'antihama' yang tepat untuk membasmimu.
hingga kau tak lagi berkeliaran di muka bumi ini.
karena semua orang sedang menanti,
menanti kepunahanmu....
koruptor...maaf, ku tak mampu menyebutmu sebagai manusia!!!
Baca selengkapnya.... - puisi begitu rendahnya kau
Agama tidak hanya mengajarkan percaya pada Tuhan saja. Di dalamnya ada
tuntunan dan aturan-aturan yang harus dipatuhi. Ada kewajiban yang harus
dijalankan, baik itu kewajiban kepada sesama manusia maupun kewajiban
kepada tuhan. Standart pribadiku kewajiban untuk berbuat baik kepada
sesama manusia bisa hanya sebatas tidak merugikan
orang lain. Tidak mengganggu orang lain dan tidak mengambil alih
hak-hak orang lain. dan lagi kita bisa berimprovisasi sendiri
meningkatkan nilai diri lewat membantu orang lain.
Shalat adalah salah satu ibadah yang paling diwajibkan oleh Tuhan.
Waktu usiaku 7 tahun, aku merasa tidak berkewajiban untuk menunaikan
ibadah shalat. Karena dulu, aku percaya kalau katanya dosa anak yang
belum baligh (dewasa) itu ditanggung oleh orang tua. Pasalnya, orang tua
lah yang berkewajiban mendidik anaknya. Ya, sesekali aku shalat karena
cinta pada orang tua. Takut kalau mereka harus masuk neraka karena aku
tidak shalat. Padahal hakikatnya kalimat "dosa ditanggung oleh orang
tua" itu adalah agar anak jadi rajin beribadah, karena biasanya
anak-anak akan mencintai orang tuanya dan tidak mau kalau orang tuanya
masuk neraka.
Menginjak usia 13 tahun, aku juga belum shalat.
Lah, kan aku belum baligh. Jadi belum menanggung dosa sendiri. Masih ada
orang tua yang bisa dijadikan tameng dari dosa-dosa. Lagipula di usia
itu adalah saat yang paling enak untuk bermain dengan teman sebaya.
Bermain sepak bola, kejar-kejaran.
Di usia 17 tahun, aku tahu
aku sudah menanggung dosa sendiri. Karena sudah baligh, sudah mimpi
"naik ke bulan". Sebuah istilah yang aku tidak tahu apa artinya. Tapi
aku baru "naik ke bulan" selama dua tahun. Jadi dosaku masih dua tahun,
masih sedikit. Jadi, umur 20 tahun nanti lah aku akan mengganti shalat
yang tertinggal itu.
Di usia 20 tahun, aku mulai mempertanyakan
agamaku. Aku sudah masuk kuliah dan harus kritis. Jadi aku bertanya
tentang tuhan, tentang kitab suci, tentang nabi dan tentang kebenaran
dari semuanya. Aku tidak mungkin shalat dalam keadaan labil. Aku harus
menemukan jati diriku.
Di usia 24 tahun, aku selesai kuliah.
Agamaku telah mulai kuyakini. Tapi kini aku tengah sibuk mencari kerja.
Jadi aku sibuk kesana kemari. Mencari lowongan, menyiapkan berkas
lamaran. dan itu melelahkan sekali. Aku tidak memiliki waktu untuk
shalat. Shalat sih sebentar saja, tapi kadang terlalu sering
menginterupsi.
Di usia 25 tahun. Aku belum mendapat kerja. Aku
menggugat tuhan. Aku telah berusaha, tapi aku tidak mendapatkan. Aku
jadi tidak mau shalat.
Di usia 27 tahun. Aku sudah bekerja di
sebuah perusahaan ternama. Posisiku juga lumayan. Tapi, sibuknya bukan
main. Sebentar-sebentar HP berdering. Lagi pula aku tengah pedekate
dengan seorang gadis pujaan. Dengan seabrek kesibukan itu, mana sempat
aku shalat.
Usiaku beranjak 30 ketika anak pertamaku lahir. Duh
senangnya, karirku juga makin mapan. Namun, kesibukan makin merajai.
Aku harus mengejar setiap kesempatan untuk masa depan keluargaku.
Pertumbuhan anakku juga menyita perhatian yang besar, aku juga harus
menyekolahkan anakku ke sekolah umum dan agama agar kelak ia berguna
bagi bangsa dan agamanya.
Di usia 35, anak keduaku lahir. Dia
wanita, cantik sekali. Bahkan sering aku memandikan dan menggantikan
popoknya. Hidupku serasa lengkap sekali. Tapi, biaya hidup makin
meningkat. Orang tuaku juga sudah mulai sakit-sakitan dan butuh biaya
berobat. Aku harus makin rajin bekerja untuk menafkahi mereka. Sholat
masih bisa kumulai di usia 40 nanti, pikirku.
Di usia 40, entah
kenapa anakku tak seperti yang kuharapkan. Aku tak menyangka mereka
bisa senakal itu. Bahkan anak pertamaku pernah tertangkap karena
menghisap daun ganja. Daun surga katanya. Aku tak bisa konsentrasi untuk
shalat. Ada saja yang membuat aku tak pernah melakukan ibadah utama
itu.
45 tahun kujalani. Aku semakin lemah, tak sekuat dulu.
Batuk sesekali mengeluarkan darah. Istriku mulai rajin berdandan,
sayangnya dia berdandan saat keluar rumah saja. Di rumah, wajahnya tak
pernah dipupur bedak sedikitpun. Aku merutuk, dosa apa yang telah aku
lakukan hingga hidupku jadi begini?
Usiaku menginjak 55, aku
berpikir kalau usia 60 nanti adalah waktu yang tepat untuk memulai
shalat. Saat aku sudah pensiun dan aku akan tinggal di rumah saja. Saat
itu adalah saat yang tepat sekali untuk menghabiskan hari tua dan
beribadah sepenuhnya kepada tuhan.
Tapi aku sudah lupa
bagaimana cara shalat. Aku lupa bacaannya. Aduh, aku harus mendatangkan
seorang ustadz ke rumah seminggu 3 kali. Tapi aku tak kuat lagi untuk
mengingat. Ingatanku tak setajam ketika dulu aku kerap juara lomba di
kampus atau sekolah. Atau ketika manajer perusahaan salut pada tingkat
kecerdasanku. Kali ini semua telah pudar. Jadi, apa yang diajarkan
ustadz itu sering membal dari telingaku. Lagipula, badanku sudah tak
begitu kuat untuk duduk lama-lama.
Kalau tidak salah, kali itu
usiaku 59 tahun ketika istriku minta cerai. Alasannya tak lagi jelas
kuingat, salah satunya katanya karena lututku tak kencang lagi
bergoyang. Lucu ya? Entah kenapa juga dulu aku menikahinya, umurnya 20
tahun lebih muda dariku. Dia memang istri keduaku. Istri pertamaku dulu
hilang, dibawa sahabatku.
Tak sampai usiaku 60, aku masih
berusaha untuk shalat. Tapi serangan jantung membuat rumah mewahku
ramai. Mereka terlihat menangis. Bahkan anak pertamaku yang
membangkrutkan satu perusahaan keluargaku terlihat begitu tertekan. Ada
kata yang sepertinya ingin dia ucap.
Terakhir aku akhirnya bisa
shalat juga, sayangnya aku tidak shalat dengan gerakku sendiri. Aku
hanya terbaring atau terbujur tepatnya. dan orang-orang menyalatkanku.
Baca selengkapnya.... - Alasan Kenapa Seorang Manusia Susah Untuk Shalat