Kajian Sosial ( Kalau Kamu Jadi Mereka)

Baiklah,ini sudah kesekian kalinya saya mengalami insomnia. Ya..ya…ya,sulit tidur akut lebih tepatnya! Browsing sana sini, ‘berkicau’ di jejaring sosial ternyata hanya mampu membunuh rasa bosan tidak lebih dari 30 menit.Dan kini,saya terjaga!!! Dengan mata mulai membengkak dan senut-senut dikepala yang semakin menggila. Tapi ada hikmah dibalik insomnia ini. Akhirnya saya memiliki waktu untuk sedikit membuat kajian untuk mengisi posting yang sudah jadi kewajiban saya sebagai admin (sok sibuk).
langsung aja nie....

Kalau Kamu Jadi Mereka

Beberapa tragedi yang terjadi sepanjang tahun 2010 ini memang menyisakan luka yang cukup dalam untuk masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Beberapa tragedi cukup membuat resah masyarakat dan membuat beberapa aktifitas lumpuh total karena takut kejadian yang sama terulang kembali.

Misalnya saja kejadian bencana alam gunung merapi yang masih bisa dirasakan efeknya sampai sekarang ini yang terjadi beberapa bulan lalu. Hal ini telah merubah ritme kehidupan masyarakat dalam beberapa bulan ke depan. Tiba-tiba saja pusat perbelanjaan langsung sepi, tempat hiburan seperti kuburan yang tak lagi tampak kehidupannya. Sangat berbanding terbalik ketika dulu gegap gempita selalu terjadi setiap malamnya. khususnya untuk daerah yang memang menjadi kawasan radius bencana.

Tapi yang saya bicarakan bukanlah perihal apa yang terjadi dengan pusat perbelanjaan, tempat hiburan ataupun yang lainnya. Justru saya ingin membicarakan tentang mereka, keluarga yang ditinggalkan oleh para korban tragedi tersebut ataupun mereka yang mengalami langsung kejadian ini.

Pernah nggak terpikirkan oleh kalian apa yang dirasakan oleh mereka?
Hmm.. saya bisa jamin, pasti yang terucap hanya “kasihan yah..” sambil terus menanyakan seputar kejadian naas itu (maaf, bukan maksud men-judge). Apakah pernah terpikir faktor psikologis yang mereka dapatkan jauh lebih dari kata KASIHAN?

Berondongan pertanyaan seperti “bagaimana perasaan anda saat mengalami hal ini?” atau “tolong ceritakan saat Anda berada di sana?” seperti bombardir. Ya ampun, kadang saya tak habis pikir. Sudah selamat dari bencana itu saja sudah bisa membuat mereka bernafas cukup lega. Lalu mengapa mereka harus menceritakan kisah tragis itu kembali? Itu sama saja membuka dan membasahi luka dengan air garam. Perih!

Saya pun tidak bisa menyalahkan para pencari berita ini, karena saya tahu bagaimana berada di posisi mereka. Mencoba mencari berita dan memberitahukannya kepada semua orang agar tetap waspada.
Tapi hal ini juga tak selalu baik karena bisa membuat semua orang paranoid dengan pemberitaan yang terus menerus tidak ada ujungnya.

Membuat semua orang yang memiliki keterkaitan dengan kejadian ini seperti di teror mimpi buruk. Saya coba menempati posisi mereka. Menjadi korban atau menjadi keluarga yang ditinggalakan. Sakit! Harus melihat semua kejadian sialan itu berulang-ulang dan terus menerus dimintai keterangan dari berbagai pihak dengan beragam keperluan.

Saya bisa berkata demikian karena saya memang pernah mengalaminya sendiri.
Pemberitaan di media televisi membuat saya tak mampu menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Televisi tampak seperti momok yang menakutkan dan virus yang patut untuk dihindari. Waktu memang menyembuhkan luka pada akhirnya, tapi tetap saja tidak mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Dan tetap saja menyisakan bekas luka yang sewaktu waktu bisa terbuka jika tidak dirawat dengan semestinya.

Apa yang terjadi kalau hal  ini menimpa kalian?
Apakah kalian masih sanggup bertahan? Coba renungkan sebelum kembali mencari sebuah jawaban dari mereka para korban dan keluarga korban.
Coba bayangkan kalau kalian jadi mereka. Sanggupkah?



Jadi kami tegaskan lagi kita sebagai kader sang hijau hitam harus memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan yang akan melahirkan "Jihad" yaitu sikap hidup berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan, dan kecintaan kepada Alloh. perjuangan menegaskan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesadaran, dan pengorbanan. dan dengan jelas itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat. 

~wahai kader sang hijau hitam 
~Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
~yang tegak di puncak bukit
~Jadilah saja belukar, Tetapi . . . .
~Belukar yang baik, yang tumbuh ditepi danau.

~Kalau engkau tak sanggup menjadi belukar
~Jadilah saja rumput, Tetapi . . . .
~Rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan.

~Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya,
~Jadilah saja jalan kecil, Tetapi . . . .
~Jalan setapak yang membawa orang ke mata air.

~Tidak semua menjadi Kapten,
~tentu harus ada awak kapalnya.

~Bukan besar kecilnya tugas yang
~menjadikan rendahnya nilai dirimu
~Jadilah saja dirimu . . . .
~Sebaik-baik dirimu sendiri
~tuk menjalankan kewajiban
~tak hanya menuntut hak pribadi

1 komentar:

Anonim mengatakan...

etika begitu penting

bahagia HMI

Posting Komentar