Islam dan Filsafat Islam




Salah satu pemikiran terpenting Profesor Muhammad Naquib Al Attas adalah bahwa masalah umat Islam saat ini adalah masalah ilmu, tepatnya ketiadaan ilmu dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan umat Islam. Lebih dari itu, masalah lainnya adalah sumber dari masalah-masalah lain yang banyak dan beragam di hadapi kita saat ini.
 Tuhan bukanlah suatu mitos, citra atau pun lambang yang terus berubah sesuai dengan berjalannya masa. Ia adalah Realitas itu sendiri. Iman memiliki kandungan ilmu, dan salah satu perbedaan yang mendasar antara agama yang benar dengan sains dan filsafat sekular adalah dalam hal cara memahami sumber-sumber metode ilmu.
Berdasarkan metode penciptaannya, ilmu memiliki beberapa aspek, atau ia dianggap sebagai semacam genus yang memiliki beberapa spesies. Salah satu spesies itu adalah ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang berurusan dengan objek-objek yang dapat diketahui. Objek tahu adalah segala sesuatu yang dalam arah lahiriah yang ada di sekitar kita. Selain tahu, ada dimensi lain dari ilmu yaitu kenal yang lebih intens dan dalam, dibandingkan tahu. Sesuai dengan itu, ilmu ini dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan, yang dalam khazanah Islam secara khusus disebut sebagai ma’rifah. Ma’rifah diturunkan dari kata ‘arafa yang artinya mengenal. Kata inilah yang digunakan dalam hadist mashyur, “Barangsiapa mengenal (‘arafa) dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Hal ini sekaligus bahwa Tuhan adalah objek pengenalan, bukan pengetahuan dan bahwa pengenalan Tuhan itu melalui pengenalan diri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam arti sebenarnya, yang diturunkan dari ‘ilm dalam bahasa Arab adalah istilah general yang memiliki beberapa cabang, diantaranya pengetahuan dan pengenalan di atas.
Ada dua hal yang menjadi implikasi pernyataan ini. Pertama, ini menunjukkan klaim di atas bahwa sains (pengetahuan) karena berhubungan dengan objek-objek yang dapat diketahui, yaitu yang teramati oleh indera, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan penggunaan terjemahan dari ma’rifah, sebagai ilmu pengenalan, tidaklah berlebihan, namun justru menunjukkan posisi yang sebenarnya. Kedua, menggunakan kata ilmu untuk menyebutkan sains, yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya, karena dengan ini objek-objek yang tak dapat bisa diketahui, namun dikenali, seperti Tuhan, dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih jauhnya, pada penggunaan kata ‘ilmiah’, adalah segala pernyataan yang tidak ‘ilmiah’, atau tidak bersumber dari ilmu (sains) dianggap lebih rendah derajatnya,pada gilirannya, ini berarti segala ilmu yang sebagai contoh bersumber dari agama, mengenai masalah-masalah moral, yang tidak dapat ‘dibuktikan’, menjadi tidak cukup bernilai. Penyempitan makna ini baik dilakukan secara sadar atau tidak, mengisyaratkan sedang berlangsung proses sekularisasi, yaitu penghapusan  makna-makna ruhaniah dari segala sesuatu, yang sesungguhnya memang dimulai dari bahasa.
Sains kontemporer tumbuh dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak periode paling awal telah mengukuhkan pandangan bahwa segala sesuatu muncul terwujudnya dari sesuatu lainnya. Alam yang dilihat dari perspektif ini adalah suatu alam semesta yang tak bergantung pada apapun dan kekal (tak diciptakan) ; suatu sistem yang berdiri sendiri. Penolakan terhadap realitas dan keberadaan Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini. Metode-metodenya terutama adalah :
q  Rasionalisme filosofis, yang cenderung hanya bersandar pada nalar (reason), tanpa bantuan pengalaman atau persepsi inderawi.
q  Rasionalisme sekular, yang sementara menerima nalar, cenderung lebih bersandar pada pengalaman inderawi, menyangkal otoritas, intuisi dan menolak wahyu serta agama sebagai sumber ilmu yang benar.
q  Empirisme filosofis atau empirisme logis, yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa.
Pandangan tentang realitas di atas didasarkan pada penyempitan realitas menjadi terbatas, yang dianggap sebagai satu-satunya tingkat realitas. Dalam sistem ini, ilmu dianggap absah jika ia terkait dengan tatanan peristiwa (fisis) alam serta hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya; dan tujuan penelitian hanyalah menggambarkan dan mensistemasi apa yang terjadi di alam dalam ruang dan waktu. Pandangan ini diungkapkan dalam istilah naturalistik dan rasional yang tegas, yang telah dikosongkan dari makna ruhaniah atau tafsiran simboliknya karena asal usul dan realitasnya semata-mata pada kekuatan-kekuatan alamiah.
Filsafat modern telah menjadi penafsir sains dan menyusun hasil-hasil sains alam dan sosial ke dalam suatu pandangan dunia. Inti asumsi-asumsi para penganjur sains dan filsafat modern adalah sains merupakan satu-satunya ilmu yang otentik, bahwa sains hanya berhubungan dengan fenomena yang berupa kesimpulan-kesimpulan sains dan pernyataan-pernyataan dasar adalah khas bagi zaman tertentu sehingga dapat berubah dalam zaman yang lain.
Kandungan ilmu menurut filsafat moden merupakan kombinasi realisme, idealisme dan pragmatisme, bahwa ketiga aspek kognisi ini bersama-sama merupakan landasan filsafat sains ini. Kognisi bersifat subjektif, orbitrer (menurut gerak hati) dan bergantung pada kesepakatan umum (masyarakat) dan bahwa dalam hubungan antara struktur logika ilmu dengan kandungan empirisnya, keunggulan logika dikukuhkan.
Dalam perjalanan paham konvensionalisme ini bukan tidak akan ditemui suatu hal yang disebut keraguan. Untuk mengatasinya, akhirnya keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistemologis. Kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka akan mencapai kebenaran. Namun hal ini bukan jaminan. Sebenarnya yang mengantarkan kita kepada kebenaran hanyalah hidayah (petunjuk Ilahi), bukan keraguan. Dari keraguan akan muncul fenomena, yaitu kepastian dan dugaan. Saat hati condong pada sesuatu dan menolak hal yang lain, maka ia telah masuk ke tahap kepastian. Bila kepastian ini dibarengi dengan pengenalan positif terhadap kesalahan atau kepalsuan, inilah hidayah. Namun jika hati condong pada sesuatu serta tidak menolak yang lainnya, maka keadaan ini disebut dugaan.
Keraguan, baik itu bersifat pasti atau sementara, yang membawa pada dugaan tidak akan pernah mencapai kebenaran. Seperti firman Allah : “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran”  (QS : Yunus  36)


Akal dan Intuisi

Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Intuisi dipahami sebagai pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Berkenaan dengan intuisi pada tingkat kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi pada orang yang telah menjalani hidupnya secara ikhlas. Intuisi datang kepada seseorang jika ia telah siap untuk itu; ketika nalar dan pengalaman telah terlatih menerima dan menafsirkannya. Para nabi dan wali juga membutuhkan persiapan untuk menerima dan menafsirkannya; dan persiapan mereka tidak hanya latihan dan pengembangan daya akal dan kapasitas pengalaman inderawi mereka, namun juga latihan disiplin dan pengembangan diri batin dan fakultas-fakultas diri yang berkaitan dengan pemahaman realitas kebenaran. Sebagai contoh pada suatu masalah, makna tercapai lewat intuisi karena intuisilah yang mampu mensintesis hal-hal yang dilihat secara terpisah oleh nalar dan pengalaman tanpa mampu digabungkan ke dalam suatu keseluruhan yang koheren.
  
Otoritas

Otoritas merupakan laporan yang benar sebagai jalan diperolehnya ilmu. Ada dua macam jenisnya, yaitu yang disampaikan secara berangkai dan tak terputus oleh sejumlah orang yang disepakati bersama, dan laporan atau pesan yang dibawa Rasulullah. Otoritas jenis pertama, yang terbentuk oleh kesepakatan bersama dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Namun otoritas jenis kedua, yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, bersifat mutlak.
Terlepas dari otoritas orang yang berilmu pada umumnya, tingkat otoritas tertinggi bagi kita adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, termasuk pribadi suci Rasulullah. Keduanya mewakili otoritas tidak hanya dalam pengertian menyampaikan kebenaran yang dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, serta di atas pemahaman transendetal yang tak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.


Proses Epistemologis Pencapaian Makna

Kita mendefinisikan manusia sebagai makhluk rasional dimana dalam upaya mengungkapkan lambang-lambang bahasa ke pola yang bermakna tak lain merupakan ekspresi lahiriah, yang terlihat, terdengar dari realitas batin yang kita sebut akal (al’aql). Akal sendiri berarti suatu substansi ruhaniah yang memungkinkan diri rasional mengenali kebenaran dan mampu membedakannya dari kepalsuan. Akal merupakan jalur pencapaian makna, yang berupa pengenalan tempat sesuatu dalam suatu sistem, yang terjadi ketika hubungan di antara sesuatu itu dengan lainnya dalam sistem menjadi jelas dan terpahami. Oleh karena ituakan dilakukan penilaian, pemilahan, pembedaan dan penjelasan, dengan syarat ‘perbedaan fisik’ itu harus tetap demikian.
Dengan demikian, di sini kita akan melihat bahwa hubungan intrinsik antara makna dan ilmu menjadi tampak; yaitu ilmu terdiri atas satuan-satuan makna yang saling terkait secara koheren dengan yang lain, sehingga membentuk gagasan-gagasan, konsep-konsep dan penilaian-penilaian.


Haqq : Realitas dan Kebenaran

Haqq memiliki arti realitas sekaligus kebenaran. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan keadilan, kebenaran, realitas, ketepatan, kepantasan yang menunjuk bukan hanya pada pernyataan akan kata-kata yang diucapkan, namun juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian serta hal-hal atau kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisi sekarang, tapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan kondisi yang akan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi dan aktualisasi.

Haqq Sebagai Kebenaran

Ketika kita mengatakan bahwa haqq menunjuk pada yang real maupun yang benar, maksudnya adalah haqq mempunyai aspek antologis, yaitu segala ciptaan telah diatur sedemikian rupa, namun manusia karena kejahilannya akan tatanan yang adil, meliputi semua makhluk, membuat perubahan dengan mengacaukan kondisi-kondisi itu, sehingga terjadi ketidakadilan. Ketidakadilan berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sehingga bila dilihat dalam hubungannya dengan tatanan umum dari sesuatu, ketidakadilan adalah disharmoni.
Berkenaan dengan itu, pernyataan-pernyataan sains yang berhubungan dengan manusia, seperti munculnya pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan umum rekayasa genetika, misalnya, walaupun didukung oleh bukti-bukti empiris, ettap saja salah karena dibangun di atas premis-premis yang didasarkan pada penafsiran yang salah tentang hakikat manusia, yang pada gilirannya bergantung pada sistem yang salah, meskipun dianggap telah menggambarkan tatanan reralitas yang benar.

Haqq Sebagai Realitas

Kita setuju bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan dan cara sampainya, indera dan fakultas yang menerima dan menafsirkannya, jelas tak sama. Karena semua ilmu berasal dari Tuhan dan ditafsirkan oleh diri dengan fakultas jasmani dan ruhaniah, maka definisi ilmu secara epistemologis, dengan acuan kepada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah sampainya makna ke diri. Dengan acuan kepada diri sebagai penafsir dan penerima aktifnya, ilmu adalah sampainya diri kepada makna.
Kini, suatu kata atau benda adalah sesuatu lambang, dan untuk mengetahuinya sebagaimana adanya adalah mengetahui apa yang diacunya, apa yang dilambangkan, apa maknanya. Kalau kita menganggap kata atau benda itu memiliki realitas sendiri yang independen, maka ia bukan lagi tanda atau lambang, karena keberadaannya adalah untuk menunjuk kepada dirinya sendiri.
Demikian juga kajian atas alam atau apa saja, atas setiap objek ilmu di dunia ciptaan; jika dipahami oleh realitas independen, maka kajian ini akan kehilangan tujuan sesungguhnya dan pencarian ilmu menjadi suatu penyimpangan dari kebenaran; karena sesuatu sebagaimana adanya (yaitu hakikatnya) adalah berbeda dari dirinya sendiri dan sesuatu yang berbeda itulah yang merupakan maknanya.
Makna telah dikatakan tepat bila apa yang kita pandang sebagai makna adalah ditentukan oleh pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran sebagaimana yang di tampilkan oleh sistem konseptual Qur’ani.


Pencarian Makna Dalam Sains

Hikmah : Mengenali Batas Kebenaran

Ilmu bersifat tidak terbatas karena objek ilmu tidak ada batasnya, tetapi ada suatu batas kebenaran dalam setiap objek ilmu, sehingga pencarian ilmu yang benar bukanlah suatu pencarian yang tanpa batas.
Kebenaran adalah dirinya sendiri semata-mata, tidak kurang atau lebih. Bagi setiap kebenaran ada batas yang sepadan dengannya, ilmu tentang batas itu adalah kearifan atau hikmah. Dengan demikian ilmu yang benar adalah ilmu yang mengenal batas kebenaran dalam setiap objeknya. Karena sesungguhnya ketika kita membahas suatu objek kebenaran, kita telah melupakan objek itu, dan yang menjadi perhatian kita adalah cara kita berfikir dan memperoleh ilmu. Karenanya tidak semua objek kebenaran memerlukan pengkajian yang mendalam, sampai ke tingkat asal usul akhirnya sebelum kita memperoleh ilmu tentang objek-objek itu.

Sains Sebagai Tafsir dan Ta’wil

Pengkajian atas penjelasan aspek-aspek sains dalam alam empiris yang samar dan bermakna ganda harus didasarkan  pada yang telah diketahui dan pasti (tafsir). Pencarian, penemuan dan penampakan makna-makna yang tersembunyi dalam Al Qur’an disebut penafsiran alegoris (ta’wil) dan ini didasarkan pada ayat-ayat yang jelas dan pasti (tafsir).
Pada dasarnya, ta’wil berarti mencapai makna asal dan hakiki dari sesuatu melalui proses dan menggunakan akal untuk memperoleh pemahaman. Meskipun demikian, tetap saja ada hal-hal yang makna hakikinya tidak dapat ditangkap oleh akal, dan orang-orang yang ilmunya mendalam menerima secara apa adanya melalui kepercayaan yang benar, yang kita sebut iman.  Inilah posisi kebenaran; ada batas-batas bagi makna sesuatu dan tempat segala sesuatu itu terjadi, erat dengan batas-batas kebermaknaannya.
Sekular filsafat dan sains modern menganggap perubahan sebagai hakikat akhir realitas. Karena peran sains adalah menjabarkan fakta, dan fakta mengalami perubahan terus-menerus (akibat realitas yang melatarbelakangi merupakan proses). Itulah sebabnya sekularisasi sebagai program filsafat dalam upaya untuk memperoleh kesesuaian dengan realitas yang dipandang sebagai perubahan mutlak menganjurkan perubahan dalam segala aspek kehidupan, menolak penetapan kata akhir dalam pandangan dunia dan perubahan keyakinan akan masa depan yang terbuka.
Pandangan kita bahwa perubahan adalah suatu realitas tidak menyebabkan kita memandang bahwa realitas bersifat mutlak; sebab kita memandang bahwa realitas bersifat tetap, namun dalam pengertian bahwa perubahan terjadi melalui sesuatu yang tetap.
 Seperti halnya alam, fenomenanya adalah proses-proses yang rinciannya bersifat tak sinambung. Ketidaksinambungan ini terjadi karena sifat fenomena yang terus digantikan oleh hal-hal baru yang serupa. Tetapi sementara alam fenomena selalu baru, realitas berubah namun tetap sama. Maka realitas merupakan proses peralihan kembali yang tak pernah putus dan berlangsung terus-menerus dalam eksistensi sedangkan aspek dan bentuk fenomenalnya musnah pada saat aktualisasi.
Berkaitan dengan itu, Al Qur’an menggunakan ungkapan lain, baqa’. Suatu kategori metafisika ketiga antara eksistensi dan non eksistensi dan ini adalah wilayah esensi-esensi asali yang tetap (al-a’yan al tsabitah) yang merupakan aspek-aspek nama dan sifat Tuhan mengenai Realitas Tertinggi, yaitu Tuhan meskipun Ia menggambarkan diri-Nya dalam istilah-istilah dinamisme mutlak yang eksplisit, Ia terlalu agung untuk dipahami sebagai selalu berada dalam proses, yang digambarkan sebagai keadaan menjadi atau transformasi. (Syed Muhammad Naquib Al Attas, 1995)


Dapatlah dikatakan bahwa informasi ini sendiri bukanlah sesuatu yang baik atau buruk. Adalah pemakainya yang membuat benar atau salah penggunaan informasi. Sains, sebagaimana dikatakan, tidaklah membawa mudharat, mudharatnya berasal dari orang yang menggunakannya.
Tampaklah pengalaman-pengalaman dengan teknologi-teknologi baru tidak melahirkan riset terapan yang mengadaptasi dan mengintegrasikan dengan kondisi-kondisi lokal, malah bentuk-bentuk baru kebergantungan pada ahli-ahli asing menjadi kuat dan menghalangi adanya riset pribumi.
Para elit politik, sistem pendidikan dan gambaran konvensional tentang sains dan teknologi, memainkan bagian-bagian penting dalam menciptakan imagi tentang kebergantungan dan ketidakberdayaan di negara-negara Muslim.
Ada beberapa hal yang bisa kita tindaklanjuti berkaitan dengan pengembangan ilmu dan teknologi antara lain :
q  Mengembangkan suatu pandangan terbuka bahwa budaya membaca adalah suatu hal yang positif dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang keadaannya.
q  Mengembangkan skema-skema klasifikasi bagi bahan-bahan tentang Islam dan literatur sendiri, juga membuat aturan yang lebih tepat tentang pengideksan dan pengkatalogan.
q  Memantau arus gagasan yang berasal dari Barat dan memberi gagasan yang lebih tepat dan relevan, diperhatikan oleh para pemikir dan intelektual Muslim, misalnya penerbitan bibliografi-bibliografi, esai tinjauan, catatan-catatan pendek, ikhtisar-ikhtisar serta buletin-buletin tentang persoalan masanya.
q  Menyatukan sarjana-sarjana Muslim dan pemikir Islam yang berpikiran sama, misalnya dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan konferensi-konferensi.
q  Mengembangkan industri penerbitan sehingga dapat mendorong pemikir Islam untuk menulis dan membantu individu-individu untuk membeli dan membaca buku.
q  Mengkampanyekan pemberantasan buta huruf.
q  Mengupayakan disebarkannya informasi ‘kelangsungan hidup’ mendasar di kalangan penduduk, yaitu informasi yang menyangkut pelayanan kesehatan, perlindungan lingkungan dan resiko pekerjaan, hak-hak penduduk serta tanggung jawab sosial.
q  Meningkatkan alih informasi di antara negeri-negeri Muslim dengan membangun jaringan informasi tersirat.
q  Mengembangkan kesadaran ‘kritis’ terhadap bidang yang menjadi perhatian bersama lebih intensif serta ekstensif dalam meninjau, mengkritik dan mengevaluasi literatur yang ada. (Ziauddin Sardar, 1988)







Sebuah  diskusi umat Islam sekarang yang sebenarnya sudah menunjukkan eksistensi umat Islam di era modern ini, antara lain :
q  Mengapa umat Muslim mengalami kemunduran dan umat mon Muslim mengalami kemajuan di era sekarang?
Umat Muslim mundur karena meninggalkan agamanya atau meninggalkan ajaran agamanya. Dan orang yang bukan Islam maju karena meninggalkan agamanya. Sama-sama meninggalkan ajaran agamanya, akibatnya ada satu yang mundur dan yang satunya maju.
q  Mengapa umat Islam meninggalkan agamanya, padahal ia adalah seorang Muslim?
Sekalipun Muslim, tapi ia melakukan, menerapkan ajaran dan tata cara yang bukan Muslim, maka tidak ada jaminan untuk maju dan kuat. 
q  Apa sebabnya umat Islam meninggalkan agamanya?
Sesuai hadist Rasulullah, yaitu Tsaubaan, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunnannya, yang juga dalam kitab “Dalaailul Mudhillah” :
“Nanti ada suatu saat kaum Muslimin akan diperebutkan oleh orang yang bukan Islam, seperti orang yang lapar memperebutkan sepiring nasi”.
q  Apakah pada waktu itu jumlah kami termasuk sedikit (minoritas) ya Rasullulah?
“Tidak! Bahkan kamu pada saat itu cukup (mayoritas) banyak jumlahnya. Tapi jumlah kamu yang banyak itu laksana busa buih yang dibawa oleh air bah dari hulu, kemudian dipermainkan di atas ombak dan gelombang besar. Buih yang kelihatan besar tetapi isinya kosong”.

Karena keadaanmu pada waktu itu laksana buih, maka Allah menimpakan akibatnya yaitu:
Tiada lagi rasa respek (mahabbah) dari orang yang non Islam kepada orang Islam. Adanya, bahkan dengan jumlah banyak itu, dianggap sama dengan tidak ada. Umat Islam dihinggapi pada suatu penyakit yang disebut “Wahan”.
“Rasa takut tertanam di dalam hati kamu, dan rasa takut itu tercabut dari hati para musuh kamu”.
Penyakit Wahan ini ialah penyakit kehilangan kesembangan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Kamu diserang penyakit cinta pada dunia dan tertanam rasa takut mati pada kamu (HR. Abu Dawud dari Tsaubaan)”.
Oleh karena itu Imam Malik berkata:
“Mengobati umat Islam sekarang ini, tiada resep lain, selain mempergunakan resep umat yang terdahulu, yang dimasa Rasullulah dan para Khulafaur Rasyidin”. (KH. Hasan Basri, 1989)

0 komentar:

Posting Komentar